DISINI
PERADAPAN
Duyun angin menuntunku
Tuk beranjak memijak tana ini
Hitam mendung menangis, gemerisik dedaun dan celoteh
Para hidupan, saksiku tuntun dalam jejak
O ini hampar kala
O ini wajah kala
O ini tubuh kala
Ini tubuh terbaring ingin dimuka
Ini tubuh masi diam saja
Sedang penyaksi terus bergumam
Namun tiada yang gerak sejengkal kailpun
Disini ada sejuta misteri
Mereka terdiam sepi
Lumut, pohonan,burung, bumi
Langit,rumputan ,tanah
Membisik mengusikku
Menggelisahku
Berkata: disini peradapan kala
Terkubur dari singga sana
:tolong bukalah cakra kami
Yang membumi kala
DISINI
MISTERI
Oh siapa saja disana
Digumul cumbuan tebal kawatan
Ada nyawakah?
Peradapankah?
Tatkala sibak jalan yang menjuntai
Siakah gerangan disana?
Oh siapa saja disana
Digumul baju usang
yang ingin nyebul tapi tergumul sepi
disini misteri
ada muka ingin terkuak
pohonan berkata padaku
: ungkap!
Disini misteri
Celoteh dedaun memaksaku
Solah para pemilik tubuh yang terbaring
Yang melangkahkan kakiku
Pada doa kawatan yang menggumulinya
Namun siapa?
Sedang kawatan itu enggn tuk lepaskan dia pergi
Untuk telanjang badan dan bersipuh lagi.
SANG
LEGENDA
Seekor burung pagi itu
Terbang menemuiku membawa selembar daun
Bertuliskan : aku tenggelam di tanah ini.
Kemudian daun itu menggeliat dan meliriku dengan
tajam matanya
Seolah dia marah padaku yang diam saja
Lalu ia berbisik pada burung
: ayo kita pulang
Burung itu terbang kembali
Namun dalam terbangnya aku dirantai di kakinya
Dan dijatuhkan di sebuah tempat
Dimana tempat itu adalah rahasia kala
Di sana ada pertapa tua yang berselimut tebal dengan
wajah yang anggun.
KATAKU
Kataku yang menyapu halaman gersangmu
Dari lerai lerai hujan semalaman
Di pelipis beningmu
Kataku menelusuri sorot cayamu
Yang mengabut kelu berselimut beku
Andainya ku suci sutra
Pasti ku kan usapkan jemariku
Diatas luka yang tengah mengikatmu
Walau sepoi kan menepik belaiku dengan cambuk yang menyakitkan
Sekalipun
NASIP
ITIK
Satu hari serombongan itik digembala disawah
Jalan rapi diatas punggung jalan
Jalan jalan menuju sawah, curam
Sawah yang dituju seluas paruh mega
Subur sekali
Tapi luas dan subur sawah tak memberi kenyang asup
itik
Karena luas dan suburnya dikurung sembilu
Itik itik hanya ngasup lumpur
Dipaksa bertelur oleh penggembala
: dari mana aku bertelur sedang asup tak sepadan
Karena asup dan bertelur tak sepadan
Itik itik saling asup satu sama lain
SELONGSONG
Disana sepoi temui daun, api, abu debu dan segalanya
Membuat daun bernyanyi riang sampai lupa dia tlah
menua
Membawa api ketitik puncak amarahnya karena lelah
dibuai kan merdu
Nyanyian daun lalu
Membara kepada segala yang di hadapnya.kemudian
menyusut jadi abu
Sadarkan debu dari tidur
Melelapkan mata, membutakan mata
Mata mata yang membeku karena lupa
Selongsong itu adalah temali
Yang mengikat pohon dari daun dan
Keratkan akarnya ke bumi
Api timbul karena temali putus
Disulut bara menjadi abu
Debu yang menghujam kini diam
Dihembus sepoi akhirnya satu jua
Ditempat satu waktu sama
Diasana ada aku dan kau
ANDAI
andai kau dengar dan rasa
jerit pulpen pada buku menjelma
jadi larik ingin menjadi guntur
apakah masih malam katamu ?
Andai kau dengar dan rasa
Paut tintadan selonsongnya
Mengibaku tuk tumpahkan mereka
Dalam buaian sutra jadi larik larik pagi di penuhi
canda
Apakah masih malam katamu?
Andai apa lagi?
Aku juga tak mengerti
Yang ku tau guntur dan pagi
Adalah aku sendiri
Mereka berteriak menerjang batu
Batu yang menyusup membantahku
Jawablah para malaikatku
Karena ku ingin seperti pucuk
Yang menguncup ditinggi menara
Dan dapat sulap sutra menjadi gerimis
Sumringah.
“R”
Sejak pagi kemarin
Aku dirumuni rasa
Gebu gebu
Dari kemuning kering kembali hijau
Rasanya aku bisa hidup
Tuk selongsong batinku
Yang beberapa waktu hijrah ditelan asa
Kau iberat kata yang menghipnotisku dengan secawan
mustika
Menjelma memainkan hujan dalam batu rasaku
Dan kini batu itu mencair mencari celah
Untuk menari bersama tinta tinta di atas mata
Rasanya deruku makin saja memintaku tuk bergulat
Menjejal sesak ditulang-tulangku
Agar aku meminta jasi menerjang badai yang
menggumuli
Sejak kehijrahan asa kemarin malam.
Jejak
Karam
dari sebagaian lerainya saraf
yang meneguk raga tuk bergerak
menapaki kakikaki
dari sebagaian lerainya saraf
yang meneguk raga tuk bergerak
menapaki kakikaki
menemui senja pagi
jalan jalan ini
saksi bicaraku pada mereka
dari tetes tetes peluh runtuh
menerjangi kegelapan laparku
malam kelam temaram
membisik mengusik jangkrik
terbebani swara resahku
yang membuncah keubun ubun
jalanjalan ini
hilang telanjangi ranumnya asa
saksinya jerit peluh
yang merasa
bungkam
jalan jalan ini
ruatan dari dupa luka nestapa
isi sajak hitam mata
jalan jalan ini
saksi bicaraku pada mereka
dari tetes tetes peluh runtuh
menerjangi kegelapan laparku
malam kelam temaram
membisik mengusik jangkrik
terbebani swara resahku
yang membuncah keubun ubun
jalanjalan ini
hilang telanjangi ranumnya asa
saksinya jerit peluh
yang merasa
bungkam
jalan jalan ini
ruatan dari dupa luka nestapa
isi sajak hitam mata
jejak karam
dari sebagaian lerainya saraf
yang meneguk raga tuk bergerak
menapaki kakikaki
dari sebagaian lerainya saraf
yang meneguk raga tuk bergerak
menapaki kakikaki
menemui senja pagi
jalan jalan ini
saksi bicaraku pada mereka
dari tetes tetes peluh runtuh
menerjangi kegelapan laparku
malam kelam temaram
membisik mengusik jangkrik
terbebani swara resahku
yang membuncah keubun ubun
jalanjalan ini
hilang telanjangi ranumnya asa
saksinya jerit peluh
yang merasa
bungkam
jalan jalan ini
ruatan dari dupa luka nestapa
isi sajak hitam mata
jalan jalan ini
saksi bicaraku pada mereka
dari tetes tetes peluh runtuh
menerjangi kegelapan laparku
malam kelam temaram
membisik mengusik jangkrik
terbebani swara resahku
yang membuncah keubun ubun
jalanjalan ini
hilang telanjangi ranumnya asa
saksinya jerit peluh
yang merasa
bungkam
jalan jalan ini
ruatan dari dupa luka nestapa
isi sajak hitam mata
Ibu
Kau langit bumiku
Yang memelukku dengan kasih selimut tebalmu
Kau mentari pagiku
Yang memberi seberkas caya dari gelapku
Kau hujan dari kegersanganku
Sampai angin pun bersujud padamu
Kau langit bumiku
Yang memelukku dengan kasih selimut tebalmu
Kau mentari pagiku
Yang memberi seberkas caya dari gelapku
Kau hujan dari kegersanganku
Sampai angin pun bersujud padamu
KEHAMPAAN
Siang lengang mencabik cabik
selaput ari
Mendekap erat, mengerang
erang
Sampai senja enggan tuk
sudahi hari
Menatapku dengan tajam
sambil meringis ancam
Mengapa ?
Rongga nganga kelaparan kan
caya
Caya caya mati karna lena
Mati karna aku lupa kan
koset yang sedari tadi membelai tanganku
Mengapa tak ku hidupkan?
Aku tak tau, rasanya kepala
koset itu enggan ku pegang
Kenapa ku tak paksa, agar ia
membenturkan kepala kedinding racun itu
Toh caya itu yang kubutuhkan
kini
Yah baru ku tau, senja
menatap tajam karna ku lupa
Lupa tak bangunkan api dan
menyungkurkan kepala koset itu
Kini baru ku ingat
Ternyata ku lupa padaMU!
SEBUAH CELOTEH USANG
Terima
kasih pak mak
Sebuah celoteh usang
Selalu ku sebut tuk memaknai
Malam, malam yang tertawa
membuai langit temaram
Sebuah celoteh usang
Slalu terkenang
Temani hening, selalu
menerjangku dari kekalahan
Sebuah celoteh usang
Yang membangkitkan dedaun
kemuning
Menjadi kuncup, menegakkan
batang
Dari rapuh, mengguyur
gersang dari panas dan
Menantang badai dari takutku
Memelukku dari kerumun debu
debu
Yang mengancam kan sengitnya
hari
Yang selalu enggan tuk
memberiku hujan
Celoteh ini adalah petir
yang berlarian disanubariku
Mengental berjalan di
urat-urat nadiku
Mengikuti setiap detak jarum
yang selalu menari
Mengitari kulit, darah,
tulang dan dagingku
Sebuah celoteh usang
Dari mu, bangunkan aku
Dari malam kesunyian
Yang terlelap digumuli
kegelapan
Celoteh ini kan selalu
bersamaku
Mendarah dan memelukku
Dan kami berdua telah janji
Untuk selalu bersama
Tuk hadapi badai katamu
Meluluhkan guntur
Meredakan angin yang ingin
merobohkanku
Sampai ku di atas menara
langit menjajaki mimpi
BUKAN
bukan kalian pendengar itu
dari deru duri duri
yang menyangkut tiap bingkai
bukan jua lelah penderita itu
yang terampas budi lara
akan patah patah sayap terbang
terkikis belati salju
yang membahana
ku teriris tangis
menyipu waktu lalu
meliat tulang tulang berantakan
kegersangan
gersang seperti waktu yang mengantarku
pada waktu centang perenang ini
GERSANG
badai mulai mengintai dari bilik bilik bebatu
membisu meliat garangnya gersang
membakar seluruh tulang tulang
bukan main
tulang tulang terkekang
terbakar
terseret
dan terpisah
dari daging daging
dan kulit ari
tulang tulang terpanggang
dan kini tinggal pata pata
yang terseret ole hembus angin lalu
sedang hujan tak lagi datang padanya.
bukan kalian pendengar itu
dari deru duri duri
yang menyangkut tiap bingkai
bukan jua lelah penderita itu
yang terampas budi lara
akan patah patah sayap terbang
terkikis belati salju
yang membahana
ku teriris tangis
menyipu waktu lalu
meliat tulang tulang berantakan
kegersangan
gersang seperti waktu yang mengantarku
pada waktu centang perenang ini
GERSANG
badai mulai mengintai dari bilik bilik bebatu
membisu meliat garangnya gersang
membakar seluruh tulang tulang
bukan main
tulang tulang terkekang
terbakar
terseret
dan terpisah
dari daging daging
dan kulit ari
tulang tulang terpanggang
dan kini tinggal pata pata
yang terseret ole hembus angin lalu
sedang hujan tak lagi datang padanya.
ANGKUH BUMI
09 OKTOBER 2012,9,35
teriris tragis ku menangis
menahan perih yang tak terperi
meliat tangan menengadah
meliat tangis di jalanan
meliat para pemuja uang
langit seolah bicara
tak menginginkan tangisnya
jatuh di bumi yang angkuh
kan selembaran kertas berharga
ludahludah bececeran
berhambur mengikat kami
dari tawatawa bahakmu!
yang kering makin gersang
yang semi makin hijau
yang tulang makin hilang
ditelan dera lara
patutkah tangis langit?
sedang bumi angkuh tak peduli!
wahai para tong kosong
takah kau dengar angin berebut tempat?
takah terdengar deru ombak mengering?
takah mendengar simponi luka?
kau hati terkunci mati
kau lukai luka menganga
lukaluka nestapa di tepian angan tak kunjung tiba.
09 OKTOBER 2012,9,35
teriris tragis ku menangis
menahan perih yang tak terperi
meliat tangan menengadah
meliat tangis di jalanan
meliat para pemuja uang
langit seolah bicara
tak menginginkan tangisnya
jatuh di bumi yang angkuh
kan selembaran kertas berharga
ludahludah bececeran
berhambur mengikat kami
dari tawatawa bahakmu!
yang kering makin gersang
yang semi makin hijau
yang tulang makin hilang
ditelan dera lara
patutkah tangis langit?
sedang bumi angkuh tak peduli!
wahai para tong kosong
takah kau dengar angin berebut tempat?
takah terdengar deru ombak mengering?
takah mendengar simponi luka?
kau hati terkunci mati
kau lukai luka menganga
lukaluka nestapa di tepian angan tak kunjung tiba.
JEDA
kapan lagi kan menangis
sedang tuk merasa tlah lelah
sedang langkah menyeret salah
kapan lagi kan terenenung
bila senja memaling muka
enggan tuk bersenda
diantara kau dan aku
dililit jarak buntu yang menuding matamata
mata sayu penuh salah
oh masih adakah keinginan tuk takut?
dalam jiwa yang teramat duraka?
oh masihkah rumah kan terdiam ?
bila aku tlah bungkam dan mati?
oh masihkah dapat jalan manis?
sedang hati tak ngerti kan pati?
kaki terus jalan menapaki lubang
lubang yang memberi keindahan fana
adakah rasa manis ini terus memanis?
sedang mataku buta kan manis.
aku
aku selendang usang
tak tau diri
kapan lagi kan menangis
sedang tuk merasa tlah lelah
sedang langkah menyeret salah
kapan lagi kan terenenung
bila senja memaling muka
enggan tuk bersenda
diantara kau dan aku
dililit jarak buntu yang menuding matamata
mata sayu penuh salah
oh masih adakah keinginan tuk takut?
dalam jiwa yang teramat duraka?
oh masihkah rumah kan terdiam ?
bila aku tlah bungkam dan mati?
oh masihkah dapat jalan manis?
sedang hati tak ngerti kan pati?
kaki terus jalan menapaki lubang
lubang yang memberi keindahan fana
adakah rasa manis ini terus memanis?
sedang mataku buta kan manis.
aku
aku selendang usang
tak tau diri
SEUNTAI KATA DARI JENDELA
senja yang menggantungkan kemuning
di leher jendela, menyesak tirai di ujung kamar ini
memaparkan salam manis
yang tertanda adalah kekasihku
katanya; hai kekasihku aku rindu
pulanglah, aku telah memanggilmu
dan aku hanya bisa tersenyum antara pait dan manis
karna aku takut, tika sampai aku mengecewakaNYA
tapi dua tamuku tadi berseru: tenanglah
dan tersenyum padaku
ada sesuatu yang aneh
ku rasakan makin pudar netraku
dua orang tamu ku tadi tersenyum dan membawaku pergi
senja yang menggantungkan kemuning
di leher jendela, menyesak tirai di ujung kamar ini
memaparkan salam manis
yang tertanda adalah kekasihku
katanya; hai kekasihku aku rindu
pulanglah, aku telah memanggilmu
dan aku hanya bisa tersenyum antara pait dan manis
karna aku takut, tika sampai aku mengecewakaNYA
tapi dua tamuku tadi berseru: tenanglah
dan tersenyum padaku
ada sesuatu yang aneh
ku rasakan makin pudar netraku
dua orang tamu ku tadi tersenyum dan membawaku pergi
SENANDUNG TERAKHIRKU
awan telah lelah memuti lagi sayang
seakan mengajakku pergi
jika nanti ia lambai tangannya
tahan ku tuk ikuti dia
dia telah menggulung hitam
menari di depan plataran
halulah agar tak jadi ku pergi
dia berkata ; kau harus pulang
karna bajumu tlah usang
kurasa benar dan
ku liat
tlah usang bajuku ini, sayang
rasanya tak mungkin ku pakai lagi
meski kau tak beringin
tika ku lepas kan baju ku ini
maafkan aku, ku harus lepas mau tamau
dan ku harus bersalin dengan baju baru
terangkan saja
agar baju baruku tak lekas robek
dan baju baru ku kelak lebih bagus
agar ku dapat meliatmu tersenyum lagi.
awan telah lelah memuti lagi sayang
seakan mengajakku pergi
jika nanti ia lambai tangannya
tahan ku tuk ikuti dia
dia telah menggulung hitam
menari di depan plataran
halulah agar tak jadi ku pergi
dia berkata ; kau harus pulang
karna bajumu tlah usang
kurasa benar dan
ku liat
tlah usang bajuku ini, sayang
rasanya tak mungkin ku pakai lagi
meski kau tak beringin
tika ku lepas kan baju ku ini
maafkan aku, ku harus lepas mau tamau
dan ku harus bersalin dengan baju baru
terangkan saja
agar baju baruku tak lekas robek
dan baju baru ku kelak lebih bagus
agar ku dapat meliatmu tersenyum lagi.
STUDUNG NASI
Harapku hari rasa lapar
Ditengah telaga waktu
Mega senja berduyun berlabu
Harapku lengan kan ulur
Ah! Tapi resah dari padaku
Ini berduri
jalanku tusuk
Dan buatku lapar
Mana liat mereka ‘ku dilempar
Diujung padang belukar
Harapku studung nasi tuk isi perutku
Perut yang tersiksa karena lelah
Karena citaku
Karena abdiku
Karena amanahku
Jambi 22 desember 2011
AKU
Aku tak makna senja
Diujung kenang malam
Pemilik indah warna
Warna yang membentuk tirai
Di idamkan
Di bayangkan ujan sahaja
Tapi aku
Luka
Aku serumpun paitan
Dicecap membunui rasa
Rasa membeku dilaknat tirai dahaga
Yang menyetubuhiku
Dan ku tak mampu menyeka
Terus menelusuri badanku
Dari mata
Dari muka
Dari raga
Dari semua
Membuatku
Mati malu
Mati tanya
Mati luka
Mati segala
Dan lagi
Dan lagi
Dan lagi
Sampai kurat nadi
Menyeset sluruh sarafku
Hingga ku terkapar di gurun laknat
Paksaku lompat
Dari lerenglereng kehausan makin dalam
Telusuri semak belukar
Dirawa rawa
Dan jatuh di lembah menguburku
Sedalam dalam waktu
O...
Aku lerai hitam
Bukan puti
Bukan jingga
Bukan mereka
Tapi
aku gelap muka
O...
Mataku buta
Mataku hilang
Mataku rusak
Hanya tinggal kenang lama
Dari puing harapku
Aku rusak
Aku hancur
Aku kubur
Aku mati
Dan aku
Terlaknat ole badai ku sendiri
Lawang
Ujung jalan tidurku
MENGAPA
Mengapa
Mengapa
Mengapa
Mengapa ladang segitu luas hanya
menganga diam saja
Mengapa
Mengapa
Mengapa
Mengapa rasa lapar masing menggerogoti
kami
Yang terpojok ini
Mengapa
Mengapa
Mengapa
Mengapa seorang ibu
tega memaksa anaknya tuk berteman
Dengan lampu merah dan
malam sunyi
Mengapa
Mengapa
Mengapa
Mengapa kau tak
pedulikan kami
Yang terkapar karena ludah ludah manismu yang kau janji
Mengapa
Mengapa
Mengapa
Mengapa kau lupakan janji
Dulu seperti surga yang kami damba
Mengapa
Mengapa
Mengapa
Mengapa kau biarkan tikustikus got itu berkeliaran dikantongmu sendiri
Padahal dulu kau jijik dengan tikustikus itu
Mengapa
Mengapa
Mengapa
Kau bersembunyi di ketiak istrimu yang masam itu
Dari kejaran kami yang menuntut janji padamu
Mengapa
Mengapa
Mengapa
Kau tak membela kami ketika sarapan kami dirampas oleh orangorang biadab
itu
Mengapa
Ku tanya mengapa
Kau tak hentikan dahagamu itu dengan secawan air bah
Demi kami
Ku tanya mengapa
Kau tak dulang dirimu dan sekawanmu dengan racun
Yang akan mematikan dirimu dan sekawanmu
Mengapa?
Kutanya mengapa
Apakah kau tak punya hati
Untuk anak kecil yang menangis karna disiksa orang tuanya
Untuk TKW dan TKI yang di pancung di luar negri
Untuk orangorang yang mati kelaparan
Untuk orangorang yang kurang kesehatan
Untuk orangorang yang berumah kardus dan kolong jembatan
Untuk orangorang gelandangan diperbudak preman jalanan
Untuk semua yang kau tindas dengan ludah surgamu
Dimana matamu
Dimana hatimu
Dimana nuranimu
Apakah mati semua
Apakah tak penting kami ini
Sekali lagi ku tanya
Mengapa kau tak buka hati mata
Untuk ku dan mereka yang terlunta
HILANGNYA MATA ELANG
PADA KITA
Ketika anak memandikan ibu dengan air mata
Melenguh lenguh deru sesak kasihnya
Menumbangkan pohonan gunung dan runtuhkan langit
Langit menjerit jerit tak tertahan
Dedaun gugur memotong diri
Dari dahan dahannya
Menangis dengan perihnya
Luka
Tika buih talagi menemani lautan
Yang membeku
Karena air mata tak henti berlarian mencair
Dari netra
Habis
Habis
Habisan
Menganga karena luka
Luka tersayat dariku.
ROH
MATA ANGIN
Kau bawa ku menembus bayang
Bayang kelam yang singgah tanpa
Syarat ke sanubariku
Kau hibur aku dari malam
Malam hening yang hampiriku
Tika terbawa lamunan
Wahai roh mata angin
Ku ingin bertemu lagi
Stelah sekian lama kau pergi
Karna penghianatanku padaMU
Sembunyikan ku dari bayang
Dan malam yang kan mengikat dan membelengguku
Karna
Aku tlah berhianat padaMU
Aku tlah ingkar
Ku tlah bohong
Ku tlah sombong
Dan ku tlah mengirisMU
Terlena oleh surga remang ini
PENGAKUAN
Aku yang
begitu luka
Dari sekian batu dupa
Melanglang gundah gulana
Aku yang begitu duka
Karna diri tak pandai terima
Bagai sombongnya asap pada
Angin yang menjejal mega jadi hitam kelam
Aku yang begitu nista
Masih adakah tempat disampingMu?
Masih adakah tapak yang bisa kududuki bersama
serombonganMu?
Bersama sepoi
Karena lukaku
Luka duka yang telah membeku dalam tubuhku
o...adakah secawan air yang bisa membasuhku, selain
Kau
o...masihkah tikar itu mau bercumbu denganku
karena lamanya ku hianati?
Luka dukaku begitu beku
JANGAN
KAU AMBIL DULU
Jangan kau ambil dulu
Sebelum angin membawaku kepadaMu
Meletakan jemariku
Tuk mengiba menundukan kepala yang sombong ini
Jangan kau ambil dulu
Seblum gelap yang menyeretku
Jauh dariMU mampu kuputihkan kembali
Sekali lagi jangan kau ambil dulu
Sebelum
Kepala
Tubuh
Mata
Hidung
Mulut
Telinga
Tangan
hati
kaki kubenar
benar satu menjadi waktu
padaMU